Kuliah non Kurikuler Ekonomi Islam 2013
Waktu Pelaksanaan
Setiap Sabtu, 7 September – 19 Oktober 2013
08.00 – 12.30
(Materikulasi + 6 x Pertemuan @2Sesi)
Pilihan Kelas
Kelas Dasar: Ilmu Ekonomi Islam
Kelas Lanjutan: Akuntansi Syariah & Lembaga Keuangan Islam non Bank
Fasilitas
· Dosen & Praktisi Berkompeten
· Sertifikasi IAEI
· Snack
· Blocknote
· Ruangan ber-AC
Investasi
Pelajar/Mahasiswa D3 & S1: Rp150.000
Rp100.000*
Mahasiswa S2 & S3 / Umum: Rp200.000
Rp150.000*
*Untuk 50 Pendaftar Pertama
Pendaftaran
Setiap Jumat, 17 Mei – 24 Juni 2013
Pukul 09.00 – 16.00
Selasar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
Jl Sosio Humaniora 1, Yogyakarta
Pendaftaran via traansfer hubungi CP
Contact Person
Adit (085691758464)
Tiara (085725937880)
laskarknkei@gmail.com
More Info:
@KnKEI_SEFUGM
Shariaheconomics.org/knkei
Laskarknkei.blogspot.com
Rabu, 15 Mei 2013
KETIMPANGAN DEMOKRASI PADA PERS DI ERA ORDE BARU DAN REFORMASI
TEMA : DEMOKRASI
KETIMPANGAN DEMOKRASI PADA PERS DI ERA
ORDE BARU DAN
REFORMASI
Oleh :
Risanda
Alirastra Budiantoro
12 / 330600 / EK / 18790
Ilmu Ekonomi / FEB UGM / 2012
12 / 330600 / EK / 18790
Ilmu Ekonomi / FEB UGM / 2012
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2013
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2013
Surat Pernyataan
Dengan ini, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Risanda Alirastra Budiantoro
NIM : 12/330600/EK/18790
Prodi : Ilmu Ekonomi
Fakultas : Ekonomika dan Bisnis
Tahun Ajaran : 2012/2013
Judul Makalah : Ketimpangan Demokrasi pada Pers di Era Orde Baru dan Reformasi
NIM : 12/330600/EK/18790
Prodi : Ilmu Ekonomi
Fakultas : Ekonomika dan Bisnis
Tahun Ajaran : 2012/2013
Judul Makalah : Ketimpangan Demokrasi pada Pers di Era Orde Baru dan Reformasi
Mata
Kuliah : Pendidikan
Kewarganegaraan
Dosen
Pengampu : Dra. Sartini, M.Hum.
Menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah
murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya
gunakan tanpa mencantumkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan sebagai
bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan
jelas bahwa saya telah menggunakannya.
Hormat
saya,
Risanda
Alirastra B
Bab I
Pendahuluan
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem
demokrasi Pancasila. Sebelumnya, mari kita tengok arti dari demokrasi itu
sendiri. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya
memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung
atau melalui perwakilan, dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.[1]
Sedangkan demokrasi Pancasila memiliki arti bahwa demokrasi di Indonesia
merupakan demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi.[2]
Adapun ciri-ciri demokrasi Pancasila yang sedang diterapkan di Indonesia,
seperti pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi, adanya pemilu secara
berkesinambungan, adanya peran-peran kelompok kepentingan, adanya penghargaan
atas HAM serta perlindungan hak minoritas. Demokrasi Pancasila merupakan
kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah. Ide-ide yang paling baik akan diterima,
bukan berdasarkan suara terbanyak.
Dari pengertian-pengertian dan
penjelasan mengenai demokrasi yang telah tercantum diatas, dapat dikaitkan
antara demokrasi Pancasila yang sedang dianut di Indonesia dengan kebebasan
pers di Indonesia pada era orde baru dan reformasi. Seperti yang telah
diketahui bahwa pers di Indonesia pada rezim Soeharto (era orde baru) tidak
memiliki kebebasan atau mengalami kekangan dari pihak pusat atau pemerintah.
Sehingga, seluruh pers yang ada pada rezim Soeharto tidak dapat menulis dan
mempublikasikan berita yang berisi tentang hal-hal negatif yang sedang terjadi
pada pejabat-pejabat yang ada di pemerintahan saat itu.
Perjuangan setiap bangsa untuk
lepas dari penindasan tidak dapat dilepaskan dari peran media. Termasuk di
Indonesia, peran media dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tak perlu
diragukan. Sebut saja surat kabar Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, dan
Medan Prijaji yang turut andil dalam menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Setelah kemerdekaan berhasil direbut, semangat kebebasan pers mulai dapat
dirasakan. Rosihan Anwar pernah menegaskan bahwa kebebasan pers hanya dapat
dirasakan pasca kemerdekaan sampai tahun 1950 saja.
Sesudah itu, bahkan hingga
kini semangat kebebasan pers seperti timbul tenggelam. Meski begitu, kita ingat
betul ketika Mochtar Lubis sempat dibungkam oleh rezim Soekarno.Ia dianggap
terlalu kritis dan membahayakan posisi penguasa, sehingga kemudian
dipenjarakan. Rezim berikutnya tidak jauh berbeda. Di masa Orde Baru, Media
dibungkam oleh kekuasaan otoriter Soeharto. Sehingga beberapa media oposisi
dibredel dan dilarang terbit. Koran-koran seperti Kompas, Harian Indonesia
Raya, dan Majalah Tempo sempat dilarang terbit pada masa itu. [3]
Akan tetapi keadaan demokrasi
terhadap pers diera reformasi mulai menemukan titik terang. Intimidasi yang
dilakukan oleh rezim Soeharto tidak lagi dapat menciutkan nyali dari para
wartawan dan jurnalis. Perubahan yang sangat signifikan pun terlihat, di dukung
dengan perkembangan media alternatif dan internet, hak serta kebebasan wartawan
untuk menulis berita tidak lagi dibatasi.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana penerapan demokrasi pada era orde baru?
1.2.2 Bagaimana penerapan demokrasi pada era reformasi?
1.2.3 Bagaimana demokrasi yang terjadi pada pers di era orde baru?
1.2.4 Bagaimana demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi?
1.2.5 Apa perbedaan demokrasi yang terjadi pada pers di era orde baru
dengan demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi ?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.3.1 Mengetahui penerapan demokrasi pada era orde baru.
1.3.2 Mengetahui penerapan demokrasi pada era reformasi.
1.3.3 Mengetahui demokrasi yang terjadi pada pers di era orde baru.
1.3.4 Mengetahui demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi.
1.3.5 Mengetahui perbedaan demokrasi yang terjadi pada pers di era orde
baru dengan demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi.
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode yang
dipergunakan dalam penulisn makalah ini yaitu metode diskusian metode
kepustakaan, dimana kemudian disimpulkan dalam bentuk makalah.
Bab II
Pembahasan
2.1 Penerapan Demokrasi pada Era
Orde Baru
Pengertian dan pelaksanaan
demokrasi di setiap negara berbeda, hal ini ditentukan oleh sejarah, budaya dan
pandangan hidup, dan dasar negara serta tujuan negara tersebut. Sesuai dengan
pandangan hidup dan dasar negara, pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengacu
pada landasan idiil dan landasan konstitusional UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi
di Indonesia sendiri dibagi menjadi beberapa periode, dimulai dari masa orde
lama yang dimulai tahun 1945-1966. Periode ini dipimpin oleh kepemimpinan Ir. Soekarno.
Setelah masa ini berakhir, terjadi pergantian periode menjadi masa orde baru.
Masa orde baru dimulai ketika
pemberontakan G 30 S PKI berhasil ditumpas oleh Jenderal Soeharto. Beliau pun
terpilih menjadi presiden selanjutnya. Pada masa ini, pelaksanaan demokrasi di
Indonesia berlandasan pada pancasila dan UUD 1945. Dan pada masa ini juga,
berkembang tentang butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) yang mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan
harus berdasarkan pada pancasila.
Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan
ini dianggap gagal. Beberapa kegagalan yang terjadi seperti pengakuan HAM yang
terbatas serta pertumbuhan KKN yang merajalela. Masa orde baru pun akhirnya
runtuh pada tahun 1998 setelah menjalani masa pemerintahan selama 31 tahun.
Kehancuran masa orde baru disebabkan oleh beberapa hal seperti, terjadinya
krisis politik serta hancurnya ekonomi nasional atau krisis ekonomi.
2.2 Penerapan
Demokrasi pada Era Reformasi
Demokrasi pancasila pada era reformasi adalah salah
satu reaksi terhadap pemerintahan orde baru yang dianggap telah menyimpang dari
tujuan dan cita-cita demokrasi pancasila. Era reformasi berlangsung dari 1998 sampai dengan saat ini atau sering disebut orde
transisi demokrasi pancasila.
Sebagai warga negara kita pasti berharap bangsa Indonesia bisa
belajar dari pengalaman sejarah agar pelaksanaan demokrasi pancasila di era
reformasi ini lebih baik dari era sebelumnya.
Ada beberapa hal yang akan menjamin sukses atau
tidaknya demokrasi pancasila
di era reformasi ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
1. Komposisi
elite politik yang ada dimana tidak ada sistem monopartai dan tidak adanya
diktator komunitas. Semuanya memiliki porsi yang sama untuk mewakili rakyat semata.
2. Desain institusi politik di mana institusi politik disusun sedemikian
rupa sehingga wakil-wakil rakyat yang dipilih benar-benar mewakili rakyat Indonesia.
3. Budaya politik yang selalu mendahulukan kepentingan
masyarakat bukan partai. Dengan begitu, maka demokrasi pancasila benar-benar
mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
4. Peranan
masyarakat yang aktif dalam memberikan aspirasi dalam pemilihan wakil-wakil
rakyat
Adapun ciri-ciri khusus yang membedakan demokrasi
pancasila di era orde baru dan
era reformasi ini adalah kandungan yang terdapat dalam demokrasi pancasila di
era reformasi itu sendiri. Dilihat dari aspek formal, demokrasi pada era
reformasi menunjukkan segi proses dan cara rakyat berpartisipasi dalam
penyelenggaraan negara, yang
kesemuanya sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan-peraturan
pelaksanaan yang lainnya. Sedangkan dari aspek materil, demokrasi pada era
reformasi menunjukkan adanya gambaran manusia yang menegaskan pengakuan atas
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan dan
memanusiakan warga negara dalam masyarakat negara kesatuan republik Indonesia
dan masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
2.3
Penerapan
Demokrasi yang Terjadi pada Pers pada Era Orde Baru
Di masa orde baru, khalayak
kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini
bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih
disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat
tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui
media. Peran media di masa Orde Baru
sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. . Namun, pemerintah
menjanjikan keterbukaan pada dunia pers, akan tetapi ini hanya merupakan janji
kosong. Sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan
Soeharto
Demokrasi pada pers yang
terjadi pada orde ini bisa dikatakan sebagai masa yang kelam bagi dunia pers di
Indonesia. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat
delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala
Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya
dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit
seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana
Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen[4]
Pada 1974, setelah meledak
Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan
Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah menjurus ke arah usaha-usaha
melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti
modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan
tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional;
menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara;
menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan
makar. Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC)
yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya. Pemberangusan terhadap pers
kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang
pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta
(Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan
Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon,
kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Dua bulan kemudian giliran
majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin dan menurunkan
wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto.
Tulisan pertama dinilai cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan
pertentang kelas, sedangkan tulisan kedua dianggap bernada sinis, insinuatif
dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab. Bulan Mei 1984, majalah
Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang
dianggap dapat mempertajam prasangka sosial.[5]
2.4
Penerapan
Demokrasi yang Terjadi pada Pers pada Era Reformasi
Pasca 1998 setelah runtuhnya
rezim Orde Baru, Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis
ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya
mengalir tanpa bisa dibendung melalui media alternatif dan internet. khalayak
kembali menggeliat aktif. Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan,
kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan
mendapatkan tekanan dari pemerintah. Begitu juga media, dapat berperan secara
aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai penyalur / penengah bagi khalayak
dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi
perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan
kecamatan, terbit tabloid baru.
Pers
Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era reformasi,
namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter
pada era ini sulit diprediksi, mengingat Negara Indonesia merupakan negara
besar, mengakui HAM warganya, dan memiliki kemajemukan budaya, adat istiadat,
agama dan bahasa daerah. Tantangan inilah yang harus di hadapi pers, peran pers
sebagai media penyalur aspirasi atau suara kepada pemerintahan tetapi tetap
menghargai hak dan etika dari pers tersebut.
Akan tetapi, era kebebasan pers
juga memunculkan ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan
spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media
yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Kebebasan pers Indonesia kemudian
banyak dikecam karena telah kelewat batas. Keprihatinan terhadap rendahnya
penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai
disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak
terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga non pemerintah yang menerbitkan
jurnal pengawas media (media watch).
Pada saat yang sama, pers
Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan
Pers yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa
berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman
terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya
merumuskan kode etik bersama yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi
wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses
perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh
wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999. Sementara itu,
masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk
menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers.
2.5
Perbedaan
Demokrasi yang Terjadi pada Pers di Era Orde Baru dengan Demokrasi yang Terjadi
pada Pers di Era Reformasi
Sesuai dengan apa yang telah
dijelaskan oleh artikel-artikel diatas, ada beberapa perbedaan yang dapat
ditemukan antara kebebasan pers pada era orde baru dengan kebebasan pers pada
era reformasi. Perbedaan tersebut tentu saja sangat berbanding terbalik. Pada
masa orde baru, pers tidak bisa bergerak bebas, sedangkan pada era reformasi,
pers dapat mengeluarkan aspirasi-aspirasinya secara bebas tanpa ada kekangan
dari pihak pemerintah. Dan dengan adanya UU No.40 tahun 1999 tentang Kebebasan
Pers yang disahkan pada era reformasi, hal ini menandakan bahwa pers lebih
diperhatikan dibandingkan pada saat era orde baru.
Dengan
kebebasan pers di Indonesia pada masa reformasi, hal ini membuktikan jika demokrasi semakin mudah untuk dilakukan.
Tidak seperti pada masa orde baru yang kurang menghargai aspirasi masyarakat. Otoritarianisme pada zaman orde baru pun
terhapuskan di zaman reformasi. Pada era
ini, terdapat peningkatan jumlah penerbitan pers. Berdasarkan data Direktorat
Pembinaan Pers (23 September 1999), jumlah penerbitan media cetak di Indonesia
yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin mencapai 1.687.
Jika dibandingkan dengan tahun 1997 jumlah penerbitan yang hanya 289 media,
berarti hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan yang ada pada tahun
1999. Bagi publik, kondisi ini memunculkan harapan baru untuk memperoleh
keragaman informasi yang bersumber dari adanya keragaman isi maupun keragaman
kepemilikan media.
Bab III
Penutup
Penutup
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas,
dapat saya simpulkan bahwa penerapan demokrasi pada era orde baru belum dapat
dikatakan berhasil. Walaupun pada masa-masa awal era orde baru kepemimpinan
Soeharto dianggap menjadi pelopor perubahan bangsa karena beliau dapat menumpas
G30SPKI. Akan tetapi, pada akhirnya pemerintahan beliau hancur karena
tindakan-tindakan beliau yang banyak merugikan masyarakat. Sedangkan penerapan
demokrasi pada era reformasi dapat dikatakan sebagai titik balik bagi
berlangsungnya demokrasi pancasila di Indonesia. Adanya perbaikan-perbaikan
pada sisi demokrasi ini mengakibatkan adanya gebrakan-gebarakan baru dari masyarakat
yang pernah merasa terkekang pada masa orde baru.
Gebrakan-gebrakan baru tersebut dapat dicontohkan pada
bebasnya pers di Indonesia. Pada masa orde baru, keadaan pers di Indonesia
sangat terpuruk karena mendapatkan kekangan dari pihak pemerintah. Sehingga
pers tidak dapat menerbitkan berita-berita aktual mengenai pemerintahan pada
saat itu. Karena jika pers menerbitkan berita yang berisi tentang
keburukan-keburukan yang terjadi pada pejabat-pejabat pemerintahan, pers yang
menerbitkan berita tersebut akan diberi surat peringatan dari pemerintah.Tentu
saja hal ini sangat merugikan bagi pihak pers. Sedangkan keadaan pers pada masa
reformasi sangat berbanding terbalik dengan keadaannya pada masa orde baru.
Pada masa reformasi, pers dapat merasakan kebebasannya. Hal ini terbukti dengan
adanya undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1999 tentang
kebebasan pers. Dan tokoh dibalik kebebasan pers ini adalah B.J Habibie.
Jika
dibandingkan antara keadaan pers pada masa orde baru dengan keadaan pers pada
masa reformasi, tentu saja kebebasan pers pada masa reformasi lebih terjamin.
Bukan hanya kebebasannya, tetapi juga para jurnalis di Indonesia terlindungi
haknya oleh hukum yang berlaku. Pers yang bebas merupakan salah satu komponen
yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi
perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers
dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Ini merupakan
hal pertama dan utama yang perlu dijaga, jangan sampai muncul tirani media
terhadap publik.
3.2 Saran
Jangan
sampai undang-undang yang telah dibuat pada tahun 1999 dirusak begitu saja oleh
oknum-oknum yang hanya mementingkan kepentingan pribadi hingga melakukan
kekerasan dan melupakan adanya undang-undang yang melindungi pers. Serta,
jangan sampai pemerintah mengulang kesalahan yang terjadi pada era orde baru,
karena itu akan merusak sistem demokrasi yang sedang dalam proses penyempurnaan
pada bangsa ini.
3.3
Daftar Pustaka
1.
Avie, Johan, Kebebasan Pers Indonesia :
Jauh Panggang dari Api, diakses dari http://hukum.kompasiana.com/2012/04/12/kebebasan-pers-indonesia-jauh-panggang-dari-api-449290.html,
pada tanggal 7 Mei 2013 pukul 20.10
2.
Anwar, Mohammad, Runtuhnya Rezim
Soeharto : Kebangkitan Pers Indonesia, Topik, 14 Februari 1984
3.
Demokrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi,
8 Mei 2013
4.
Demokrasi Pancasila, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila,
8 Mei 2013
- I.N, Soebagijo, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181
[1] Demokrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi,
8 Mei 2013
[2] Demokrasi Pancasila, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila,
8 Mei 2013
[3] Johan Avie, Kebebasan Pers Indonesia;
Jauh Panggang dari Api, diakses di http://hukum.kompasiana.com/2012/04/12/kebebasan-pers-indonesia-jauh-panggang-dari-api-449290.html,
pada tanggal 7 Mei 2013 pukul 20.10
Senin, 06 Mei 2013
SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA ( Dari Persepsi Pancasila )
SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA
(Risanda Alirastra Budiantoro - 12/330600/EK/18790 – Ilmu Ekonomi)
(Risanda Alirastra Budiantoro - 12/330600/EK/18790 – Ilmu Ekonomi)
I.
Konsep Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu paham dan sikap politik dari masyarakat suatu
bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita
dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya
kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Nasionalisme dapat
diperkuat oleh ikatan persamaan ras, bahasa, sejarah dan agama, oleh karenanya
nasionalisme selalu terpaut dengan wilayah tertentu. [1]
Rasa nasiolanisme harus diterapkan sedini mungkin kepada generasi muda
penerus bangsa. semangat nasionalisme generasi muda sangat penting
keberadaannya. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap tanah air tercinta dengan
tetap menghargai dan menghormati bangsa-bangsa lain di dunia ini juga harus
ditumbuhkan. sesama bangsa harus saling membantu dan bertenggang rasa. Karena
dengan hal-hal tersebut bersama kita bisa memelihara perdamaian di dunia ini. Jika perdamaian di dunia dapat dipelihara
maka ketentraman rakyat akan terjamin. Karena nasionalisme membentuk kesadaran
dan kesetiaan terhadap bangsa dan negara tanpa memandang dari suku, ras, agama
dan kelompok kita berasal. Dengan semangat nasionalisme tersebut, rasa rukun
antar masyarakat juga akan tumbuh. Sehingga tidak akan ada pertempuran dan
peperangan antar masyarakat dalam sebuah negara.
II. Nasionalisme Indonesia dengan
Landasan Pancasila
Sebagai dasar dan tujuan
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, asas nasionalisme tercantum dalam Pancasila sebagai sila
ketiga, yaitu Persatuan. Sebagai dasar ideologi Negara Pancasila sepatutnya
menjadi acuan kerangka kita dalam membangun kehidupan berbangsa. Sebab selain
dipandang sebagai dasar ideologi Negara, Pancasila telah ditetapkan sebagai
sumber hukum oleh MPR dan juga senantiasa dipandang sebagai paradigma budaya
dalam melaksanakan semboyan Negara "Bhinneka Tunggal Ika". Nasionalisme
Indonesia yang bersumber pada Pancasila akan menjadi sebuah landasan yang benar
dan kuat. Bung Karno menyatakan bahwa negara yang kita dirikan harus dilandasi
Nasionalisme. Akan tetapi nasionalisme yang kita bangun harus nasionalisme yang
tumbuh dalam tamansari internasionalisme, bukan nasionalisme yang sempit dan
chauvinis. Melainkan nasionalisme yang ber-Perikemanusiaan yang adil dan
beradab.[2]
Menurut Notonagoro, seorang
ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas Gajah Mada, mengemukakan
bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat "majemuk tunggal"
(bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang
dibentuk dalam perjalanan
Sejarahnya
yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan
Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka
nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan
mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk
karena memilikiPersamaan nasib,
yaitu penderitaan selama masa
penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama,
sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan
menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang.
3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa
Indonesia memiliki Keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda,
namun
keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan
dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan
Islam.
4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan
mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
5. Kesatuan Asas Kerohanian.
Bangsa ini memiliki kesamaan
cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan
hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.[3]
Indonesia kaya dengan Teori
dan Konsep yang brilyan, antara lain Pancasila Tapi amat lemah dalam
Implementasi yang konsisten dan efektif dari berbagai teori dan konsep yang
brilyan itu. Para pemimpin hebat sekali berwacana, tapi sayangnya kebanyakan
tinggal pada wacana belaka dan tidak ada kenyataannya.
Jadi untuk membuat
Nasionalisme Indonesia tangguh dan kokoh kembali syarat pertama adalah
perbaikan dan peningkatan mutu Kepemimpinan di semua tingkat dan aspek
kehidupan bangsa, disertai pelaksanaan Manajemen yang efektif . Kepemimpinan
yang menyadari perlunya Pancasila menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa
Indonesia serta dengan penuh kesungguhan melaksanakan berbagai usaha untuk itu.
Dengan begitu potensi nasional yang besar dan bernilai tinggi pada Sumber Daya
Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) dan potensi lainnya akan memberikan
manfaat efektif dan nyata untuk kehidupan rakyat banyak. Rakyat akan Sejahtera
dan Negara Kuat. Nasionalisme Indonesia akan tangguh melebihi sediakala.
“Nasionalis yang sejati,
yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan
ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa
belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak
segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang
nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme
Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan,
nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan
melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu
adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu
untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno, 1964).
[1] Dwi
Wijayanto Rio Sambodo, Nasionalisme Indonesia diakses dari : http://dwirio.blogspot.com/2008/10/nasionalisme-indonesia.html,
pada tanggal 3 Mei 2013 pukul 12.30
[2] Sayidiman
Suryohadiprojo, Nasionalisme Indonesia
yang Tangguh diakses dari : http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1596,
pada taanggal 3 mei 2013 pukul 12.35
[3] Ahmad Yanuana Samantho, Kebudayaan dan
Nasionalisme Indonesia ,
diakses dari http://ahmadsamantho.wordpress.com/2010/03/31/kebudayaan-dan-nasionalisme-indonesia/,
pada tanggal 3 Mei 2013 puku 13.00
Langganan:
Postingan (Atom)