Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Ditinjau dari Prespektif Kelembagaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Oleh :
Risanda Alirastra Budiantoro
12/330600/EK/18790
Program Studi Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
2014
BAZNAS
DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEORI KELEMBAGAAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Risanda Alirastra Budiantoro
Faculty of Economics and Business
Jalan Bulaksumur, Yogyakarta 55281 ,
Indonesia
Email : risanda.abe@gmail.com
Abstraksi :
Salah satu ibadah pokok umat
Islam yang bercorak sosial-ekonomi adalah zakat. Sebagai kewajiban seseorang
muslim yang berkecukupan (muzakki)
untuk mengeluarkan sebagian hak miliknya kepada pihak yang berhak untuk
menerimanya (mustahiq) agar tercipta pemerataan
ekonomi yang berkeadilan. Dalam hal ini, zakat dapat dimaknai sebagai alokasi
sumberdaya (allocation of resource)
yang dapat difungsikan untuk mencegah penumpukan harta pada sebagian kecil
orang dan mempersempit kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Dengan kata lain,
zakat sebagai social safety nets
(kepastian terpenuhinya hak minimal kaum miskin) yang berfungsi sebagai
pengendali (control) terhadap sifat
manusia yang cenderung serakah dan senang terhadap akumulasi kekayaan dan
kehormatan. Kondisi semacam ini menjadi pemicu bagi kemunculan Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS). BAZNAS adalah lembaga yang mengelola penerimaan,
pengumpulan, dan penyaluran serta pemafaatan zakat, infaq dan shadaqah secara
berdaya guna dan berhasil guna yang didirikan oleh umat Islam. Namun, didalam
pelaksaan pengelolaan zakat, munculnya permasalahan informasi (Asymmetric information) dan penegakaan
hukum (enforcement mechanism) yang
menghabat produktivitas BAZNAS, sehingga menyebabkan tingginya biaya transaksi (transaction cost).
Keyword : Zakat, Muzakki, Mustahiq, allocation of resources, BAZNAS,
Asymmetric information, transaction cost
Pendahuluan
Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun
Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Dari segi
prakteknya zakat adalah kegiatan berbagi antar umat, dalam hal ini Zakat juga
merupakan sebuah kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun sehingga hukum
zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Zakat juga sama dengan katagori ibadah lainnya seperti
salat puasa dan haji yang diatur secara terinci berdasarkan al-qur’an dan
Sunnah Nabi. Tujuan Allah memerintahkan umat Islam untuk membayar zakat adalah
agar harta yang dimilikinya menjadi bersih dan suci. Ketika seseorang yang
telah memenuhi syarat untuk berzakat tetapi seorang tersebut tidak membayarkan
zakat, maka hartanya akan menjadi kotor dan haram karena tercampur dengan hak orang lain yang dititipkan kepada
orang yang berhak mengeluarkan zakat, sebagaimana firman Allah dalam surat at-
Taubah ayat 103 :
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُ هُمْ
وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ اِنَّ صَلَوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ
سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (التوبة: ١٠٣)
Artinya : Ambillah zakat dari harta mereka, guna
membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar,
Maha Mengetahui.
Untuk memudahkan didalam penyaluran zakat
maka terdapat lembaga pengelolaan zakat yaitu BAZNAS dengan landasan UU No. 38
Tahun 1999. Manajemen dan jaringan zakat menjadi semakin baik sehingga dapat menjadi suatu gerakan tersendiri bagai
pemberdayaan ekonomi umat (masyarakat). Namun demikian, potensi zakat yang sebenarnya menurut banyak kalangan belum
dapat digali secara maksimal. Hal demikian karena zakat masih dianggap
sebagai sumbangan sukarela dan negara
tidak dapat memaksa para wajib zakat untuk membayarkan zakatnya. Namun perlu
digarisbawahi bahwa dalam pengelolaan zakat terdapat fenomena Adverse selection dalam BAZNAS, terjadi
ketidaksempurnaan informasi antara muzakki
dengan amil zakat yang bertransaksi tentang kualitas input, output, maupun
tentang aspek-aspek dalam pengelolaan zakat lainnya yang mana salah satu pihak
menjadi kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut, dalam hal ini jika
ditidak diawasi dan diminimalisir akan menghambat proses distribusi zakat.
.
Perkembangan
BAZNAS Pra dan Pasca UU no 38 tahun 1999
Pada tahun 1990 BAZNAS merupakan
lembaga zakat yang memiliki ciri khas untuk memberikan secara langsung dari Muzakki ke Mustahiq tanpa melalui lembaga zakat, jika pun melalui ‘amil zakat
hanya terbatas pada zakat fitrah, kemudian zakat yang diberikan pada umumnya
hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat sehingga kepercayaan publik
atas kinerja lembaga pengelolaan zakat masih kurang, mereka berasumsi bahwa
profesi amil zakat hanya sebagai profesi sambilan, sehingga BAZNAS masih belum
maksimal. Menurut penjelasan dari
Al-Qur’an dan Hadits, harta yang bersifat eksplisit berupa: emas dan perak, pertanian (terbatas
pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi,
kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditas yang berbentuk barang),
dan rikaz (harta temuan) dapat dijadikan objek zakat, ini diakibatkan masih
lemahnya sosialisasi tentang zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi
dan tujuan zakat, tata cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan
zakat dengan peningkatan kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat
masih sangat jarang dilakukan.
UU No. 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, Pemerintah Republik Indonesia menjamin bahwa tiap-tiap
penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Sesuai dengan ajaran Islam
zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu dan menyatakan bahwa hasil
dari pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga pengelolaan zakat terus disempurnakan agar pelaksanaan zakat lebih
berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan
Perkembangan zakat pada tahun
2000-an setelah adanya aturan perundang-undangan pengelolaan zakat dilakukan
secara lebih profesional karena adanya pedoman teknis dalam pengelolaan zakat.
Tujuan atas pengelolaan zakat untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat
dalam menunaikan zakat, selain itu meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial serta meningkatkan daya
guna zakat. Dalam UU itu mengatur keorganisasian pengelolaan zakat antara Badan
Amil Zakat [1] dan
Lembaga Amil Zakat. [2]
Pada tahun 2014
merupakan tahun yang penting dalam perkembangan BAZNAS dalam pembangunan zakat
nasional, ada dua hal yang menjadi landasan untuk menciptakan lembaga zakat
yang profesional :
Pertama tahun
2014 merupakan tahun pertama dalam implementasi aturan baru dalam pengelolaan
zakat nasional sesuai dengan UU No. 23 tahun 2011 sebagai bentuk amandemen atas
UU no 23 tahun 1999. Jika melihat dari perspektif kelembagaan memberikan kesempatan
dalam pengelolaan zakat yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga mampu meminimalisir permasalahan adverse
selection
Kedua, tahun 2014 merupakan
tahun politik dan terjadi transisi pemerintahan lama kepada pemerintahan baru
yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian terhadap kondisi politik, sosial
ekonomi suatu negara. Sehingga intervensi pemerintah dalam pembangunan zakat
menjadi lebih besar dalam penyaluran zakat.
Dari
sisi penghimpunan, negara dapat terlibat dalam upaya pengumpulan zakat melalui
penerbitan sejumlah aturan, seperti Instruksi Presiden, yang meminta para
penyelenggara negara untuk mengintensifkan upaya penghimpunan zakat secara
efektif, dengan target para PNS maupun pegawai BUMN yang telah memenuhi syarat
sebagai muzakki perorangan, maupun perusahaan BUMN sebagai muzakki badan.
Sedangkan dari sisi penyaluran, negara dapat mendorong proses sinergi antara
BAZNAS dengan kementerian terkait, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
kelompok miskin
Potensi Zakat Nasional
Menurut Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas), Didin Hafidhuddin menyatakan, zakat yang terhimpun selama 2010
sebesar Rp1,5 triliun, atau meningkat dari jumlah pada 2009 sebesar Rp1,2
triliun, penerimaan manfaat zakat di seluruh Indonesia
mencapai angka 2,28 juta orang atau 9,03 persen dari seluruh penduduk miskin di
Indonesia .
Perolehan zakat
secara nasional yang terus meningkat,
masih menyisakan permasalahan
bagi pengelolaan zakat.
Seagaimana pendapat Asep Saepudin Jahar,[3]
lembaga-lembaga zakat berdiri cenderung independen dan mencanangkan program
masing-masing yang lemah membangun koordinasi dan sinergi antar satu lembaga
dengan lembaga lainnya, tidak hanya itu, penulis dan Udin pernah mengunjungi
salah satu panti di Surabaya, yang melarang pantinya menerima bantuan dari
yayasan yatim piatu Lembaga zakat terkesan bersaing satu sama lain, bahkan
hampir tiap lembaga yang berafiliasi pada yayasan pendidikan, masjid, lembaga
pelatihan, mendirikan unit pengumpulan zakat yang umumnya terpisah dari
lembaga-lembaga yang ada.
Padahal menurut
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [4] memerintahkan agar gerakan zakat terus ditingkatkan
sehingga bisa membantu pemerintah mengurangi kemiskinan. Dalam artian, zakat
sebagai jalur ketiga dapat memperkuat upaya mengurangi kemiskinan. Jalur
pertama dan kedua adalah pembangunan ekonomi dan program bantuan pro rakyat,
seperti kredit usaha rakyat, bantuan operasional sekolah, bantuan bencana alam,
jaminan kesehatan masyarakat, dan sebagainya. demi terwujudnya pengelolaan
zakat untuk mengurangi angka kemiskinan dibutuhkan dan sangat diperlulan campur tangan
pemerintah; Pertama, zakat bukanlah bentuk kedermawanan, melaikan
kewajiban bagi setiap orang muslimim. Kedua,
Banyaknya lembaga zakat yang bermunculan. Ketiga, agar dana zakat dapat
di salurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat
itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Tantangan bagi BAZNAS
Dalam
merealisasikan tugas sebagai koordinator pengelolaan zakat nasional, BAZNAS di
hadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan internal dan stantangan
eksternal.
Secara
internal, yang harus mendapat prioritas BAZNAS di tahun 2014 ini adalah
peningkatan kapasitas kelembagaan dan kapasitas SDM yang dimilikinya. Ini sangat
penting karena akan sangat menentukan kinerja BAZNAS sebagai koordinator
institusi amil resmi. Secara kelembagaan, harus ada pembedaan antara fungsi
operator dengan fungsi koordinator dalam institusi BAZNAS. Fungsi operator
adalah organ organisasi yang menjalankan fungsi penghimpunan dan penyaluran
zakat secara terbatas Terbatas maksudnya ada pembagian tugas dan kewenangan
untuk melakukan penghimpunan maupun penyaluran zakat, baik antara BAZNAS Pusat
dengan BAZNAS Daerah. Sedangkan untuk fungsi koordinator, BAZNAS diminta untuk
membuat sejumlah pedoman pengelolaan zakat nasional, antara lain yang terkait
dengan perencanaan dan pelaporan zakat, standarisasi dan pelatihan,serta
sertifikasi dan advokasi. Khusus perencanaan dan pelaporan zakat, BAZNAS perlu
merumuskan standar yang dapat diaplikasikan secara bersama, baik oleh BAZNAS
daerah maupun LAZ. Ini sangat penting agar informasi yang disajikan kepada
publik sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan zakat, menjadi jelas,
terukur, seragam, tidak multiinterpretasi, dan mudah untuk diverifikasi.
Sedangkan
secara eksternal, BAZNAS dituntut untuk meningkatkan kinerja baik secara
domestic maupun secara internasional. Secara domestik, yang diperlukan adalah
bagaimana memperkuat komunikasi dengan para stakeholder yang ada.
Misalnya, bagaimana meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintah.
BAZNAS harus memiliki strategi komunikasi yang efektif, sehingga dukungan
regulasi dan kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, bisa semakin dirasakan oleh perzakatan nasional. Demikian pula dengan
upaya edukasi dan sosialisasi kepada publik, sehingga publik bisa memahami message
kampanye zakat dengan baik, dan mereka mau terlibat aktif dalam pembangunan
zakat nasional, terutama sebagai muzakki tetap. Secara internasional, BAZNAS
dituntut untuk memainkan peran yang lebih signifikan, terutama dalam menggalang
kerjasama dengan lembaga dan otoritas zakat dari negara lain, baik pada level
regional Asia Tenggara maupun level global Juga kerjasama dengan
lembaga-lembaga multilateral strategis seperti IDB (Islamic Development Bank).
Apalagi IDB
sekarang juga sedang
mengembangkan konsep IFSAP (Islamic Financial Sector
Assessment Program)[5]
sebagai instrumen untuk menilai tingkat kesehatan sistim keuangan syariah yang
ada di suatu negara. Untuk itu, peran BAZNAS, sebagai representasi negara Indonesia di
kancah internasional, harus terus menerus ditingkatkan
Permasalahan Asymmetric information dalam
BAZNAS
Dalam
menjalankan perannya sebagai pengelola zakat, terdapat fenomena Asymmetric information dalam
BAZNAS, terjadi ketidaksempurnaan informasi oleh satu atau lebih pihak muzakki
atau amil zakat yang bertransaksi tentang kualitas input, output, maupun
tentang aspek-aspek dalam pengelolaan zakat lainnya yang mana pihak lawan
kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut, sehingga akan menghambat proses
distribusi zakat. Selain itu ketidaktransparan dalam pendistribusian zakat
dapat mengakibat kecurigaan dari berbagai pihak terutama dari para muzakki yang
telah mengeluarkan zakatnya. Sehingga BAZNAS sebagai lembaga pengelolaan zakat
haruslah memiliki aturan yang luas, masuk akal atau logis dapat diterima secara
luas, dapat dipercaya dan bersifat predictable
yang mampu direalisasikan dalam pendistribusian zakat. Stabilitas dan
kredibilitas BAZNAS cukup penting yang mampu membangun tingkat kepercayaan
masyarakat untuk mengatasi permasalahan adverse selection dalam BAZNAS,
sehingga tujuan dari BAZNAS dapat tercapai untuk mengurangi kemiskinan, kesenjangan
dan dapat memacu pertumbuhan perekonomian nasional. Dalam hal ini adaptasi dan
perubahan perlu dilakukan oleh BAZNAS terhadap perkembangan preferensi sosial
maupun ekonomi politik yang menjadi penyebab perubahan institusional dalam
waktu dan siklus yang berbeda.
Hubungan antara transaksi (transaction), hak milik (property right), kontrak (contract) dan mekanisme penegakannya (enforcement mechanism) dalam BAZNAS
BAZNAS
menjadi bagian penting dalam pembangunan bangsa Indonesia karena lembaga pengelolaan
zakat tersebut berinteraksi atau bertransaksi dengan lapisan masyarakat dan
dalam menjalankan perannya sesuai dengan aturan syari’i secara professional. Selain itu, BAZNAS yang termasuk dalam
institusi formal, dimana dalam penyelenggaraanya diatur ketat oleh peraturan
perundangan-undangan sehingga dapat berjalan dengan baik.
Namun,
permasalahan informasi (Asymmetric
information) dan penegakaan hukum (enforcement
mechanism) menjadi penyebab tingginya biaya transaksi (transaction cost). Sebagian besar transaksi selalu membutuhkan
biaya. Didalamnya termasuk biaya untuk mengumpulkan informasi-informasi tentang
mustahiq (tingkat pendapatan, pendidikan, pengeluaran, dll), informasi tentang
partner transaksi seperti bank mitra (reputasi, track record), kualitas property
rights yang akan dipindahkan, termasuk di dalamnya kerangka legalitas dan
kontrak, desain biaya, pengawasan dan penegakan aturan kontrak harus ditanggung
oleh BAZNAS
Terdapat
salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi islam adalah persoalan dualisme
zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah
mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu
sendiri. Sebagian besar ulama fiqh memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua
entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat
adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak
adalah kewajibannya terhadap negara. Untuk itu, perlu diadakan kajian kritis
untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu sehingga kewajiban seorang Muslim
terhadap agama dan negaranya dapat terlaksana secara simultan. Sebaliknya
negara juga diuntungkan karena penerimaan negara dari sektor pajak sesuai
dengan yang diharapkan. Pada gilirannya, pengintegrasian itu perlu diwujudkan
dalam kebijakan fiskal negara. Hal ini merupakan contoh konkret dalam transaksi
(transaction), hak milik (property right), kontrak (contract) dan mekanisme penegakannya (enforcement mechanism) pada lembaga
pengelolaan zakat
Pengelolaan zakat yang ideal
Suatu BAZNAS
harus mempunyai sistem pengelolaan yang baik. Sedangkan unsur-unsur yang harus
diperhatikan adalah :
- Memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas;
Sebagai
sebuah lembaga, semua kebijakan dan ketentuan harus memiliki aturan yang jelas
dan tertulis. Sehingga keberlangsungan lembaga tersebut tidak tergantung pada
figur semata tetapi kepada sistem. Jika terjadi pergantian SDM, tidak akan
mempengaruhi berjalannya BAZNAS tersebut.
- Manajemen
Terbuka;
Fungsi pengawasan BAZNAS dapat tercapai
dengan manajemen terbuka, sehingga akan terjadi hubungan timbal balik antara
amil zakat dengan masyarakat
- Mempunyai
Rencana Kerja yang Jelas;
Dengan mempunyai rencana kerja yang jelas
maka aktivitas BAZNAS akan lebih terarah.
- Memiliki
Komite Penyaluran;
Tugas Komite Penyaluran ini adalah untuk
mengadakan penyeleksian terhadap setiap pengeluaran dana yang akan dilakukan.
Apakah dana tersebut benar-benar disalurkan kepada yang berhak, sesuai dengan
ketentuan syari`ah, prioritas dan kebijakan lembaga.
- Memiliki
Sistem Akutansi dan Manajemen Keuangan;
Dengan memiliki sistem akutansi dan
manajemen keuangan yang baik, maka BAZNAS dapat berjalan secara efektif dan
efesien.
- Diaudit;
Salah satu prinsip dalam Undang-Undang
Pengelolaan Zakat adalah prinsip transparansi. Sehingga setiap BAZNAS harus
diaudit baik oleh auditor eksternal maupun internal. Dengan demikian transparansi
Pengelolaan BAZNAS tersebut dapat tetap terjaga.
- Publikasi;
Publikasi sangat diperlukan oleh BAZNAS,
sekaligus sebagai upaya untuk mensosialisasikan berlakunya Undang-Undang Pengelolaan
Zakat kepada masyarakat umum. Publikasi ini dapat dilakukan melaui berbagai
media massa seperti tevisi, surat kabar, bulletin, radio dan lain-lain.
- Perbaikan
Secara Terus Menerus.
Suatu BAZNAS tidak boleh puas dengan
keadaan yang dicapai saat ini, tetapi harus selalu diadakan peningkatan dan
perbaikan secara terus menerus sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan
zaman.
BAZNAS sebagai New Institutional Economics (NIE)
Dalam
hal ini NIE mencoba menjelaskan permasalahan ekonomi dalam dunia nyata seperti
ketidaksempurnaan informasi dan adanya biaya transaksi didalam institusi. Semakin
informasi tidak sempurna (adanya asymmetric information) maka semakin tinggi
biaya transaksi yang dikeluarkan pelaku ekonomi. NIE mencoba menjelaskan pentingnya
kelembagaan untuk menciptakan efisiensi dan meminimalisir biaya transaksi. Jika
dilihat dari paradigma metodologi penelitian NIE merupakan gabungan antara Neo Classical Economics (NCE) dan Old
Institutional Economics (OIE) sehingga bersifat positivisme (dicirikan
dengan sampel besar, deduktif, kuantitatif, modeling, dan bertujuan untuk
menguji hipotesa) dan fenomenologis (sampel kecil, studi kasus, induktif,
observasi langsung, kualitatif dan bertujuan ingin memodifikasi teori daripada
menguji teori), yang dicirikan dengan penggabungan metodologi kuantitatif dan
kualitatif, dan menggunakan trianggulasi konsep, metodologi dan data. NIE
memiliki nilai yang lebih demokratis, adil dan transparan selain itu adanya
penggabungan antara faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sehingga sesuai
dengan konsep pengelolaan zakat oleh BAZNAS.
Kesimpulan
Zakat merupakan rukun ketiga
dari Rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam.
Untuk memudahkan didalam penyaluran zakat maka terdapat lembaga pengelolaan
zakat yaitu BAZNAS dengan landasan UU No. 38 Tahun 1999, sesuai dengan
undang-undang hasil dari pengumpulan zakat merupakan
sumber dana yang potensial untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga
pengelolaan zakat terus disempurnakan agar pelaksanaan zakat lebih berdaya guna
dan dapat dipertanggungjawabkan
Dalam
merealisasikan tugas sebagai koordinator pengelolaan zakat nasional, BAZNAS di
hadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan internal dan tantangan
eksternal. Selain itu fenomena Adverse
selection terdapat dalam BAZNAS, hal
tersebut terjadi ketidaksempurnaan informasi oleh satu atau lebih pihak muzakki
atau amil zakat yang bertransaksi tentang kualitas input, output, maupun
tentang aspek-aspek dalam pengelolaan zakat lainnya yang mana pihak lawan
kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut, sehingga akan menghambat proses
distribusi zakat. Permasalahan informasi (Asymmetric
information) dan penegakaan hukum (enforcement
mechanism) menjadi penyebab tingginya biaya transaksi (transaction cost).
Dalam
hal ini NIE mencoba menjelaskan permasalahan ekonomi dalam dunia nyata seperti
ketidaksempurnaan informasi dan adanya biaya transaksi didalam institusi,
termasuk BAZNAS. Jika dilihat dari paradigma metodologi penelitian NIE
merupakan gabungan antara Neo Classical
Economics (NCE) dan Old Institutional Economics (OIE) NIE memiliki nilai
yang lebih demokratis, adil dan transparan selain itu adanya penggabungan
antara faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sehingga sesuai dengan konsep
pengelolaan zakat oleh BAZNAS
Daftar Pustaka
Baidlowi, A.Miftah, 2003, Potensi Baznas untuk meningkatkan
kesejahteraan di Kabupaten Sleman, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.
Vol.IV , No.1 Juni 2003: 1-13
Beik, Irfan
Syauqi. Menuju Standardisasi Pengelolaan Zakat Global (http://irfansbeik.blog.republika.co.id/index.php/menuju-standardisasi-pengelolaan
-zakat-global/, accessed on 14 Juni 2014)
Departemen Agama RI. 1965. AlQur'an al Karim dan Terjamahnya,
Semarang : CV.TohaPutra
Jaya, Wihana
Kirana. 2010Kebijakan Desntralisasi di Indonesia Dalam Perspektif Teori Ekonomi
kelembagaan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Yudoyono, Susilo
Bambang., Zakat Jalur Ketiga Kurangi Kemiskinan. dalam http://www.republika.co.id., 18 Maret 2011
[1] Badan
Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di
tingkat daerah. Organisasi BAZ di
semua tingkatan bersifat koordinatif, konsultatif, dan infomatif. Kepengurusan
BAZ terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan
tertentu antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan
berintegritas tinggi
[2] LAZ merupakan lembaga yang didirikan oleh
masyarakat dalam pengelolaan zakat dengan kriteria sebagai organisasi islam dan
atau lembaga dakwah yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan
kemaslahatan umat yang dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah. Pengukuhan
LAZ sesuai dengan keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003.
[3] Asep
Saepudin Jahar, Masa Depan Filantropi
Islam Indonesia Kajian Lembaga-lembaga Zakat dan Wakaf, Makalah disampaikan
dalam acara Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10 di Banjarmasin, 1
– 4 November 2010, Kalimantan Selatan, 685
[4] Presiden
Susilo Bambang Yudoyono, : Zakat Jalur Ketiga Kurangi Kemiskinan‛, dalam http://www.republika.co.id. (18 Maret 2011)
[5] IFSAP
(Islamic Financial Sector Assessment Program) merupakan tools untuk mengukur dan menilai
kinerja sektor keuangan syariah secara komprehensif, sekaligus melakukan
evaluasi terhadap stabilitas sektor ini. Dengan assessment yang tepat, maka
kemungkinan terjadinya krisis keuangan dapat dideteksi secara dini. Dimasukkannya
zakat dan wakaf kedalam IFSAP sesuai pertimbangan bahwa kedua sektor ini
merupakan pilar utama Islamic social finance yang memiliki potensi yang sangat
besar. Apalagi secara filosofis, zakat merupakan instrumen yang disebut secara
eksplisit dalam Alquran sebagai antitesa dari sistim riba. (source : Dr Irfan
Syauqi Beik, Menuju Standardisasi Pengelolaan Zakat Global, http://irfansbeik.blog.republika.co.id
/index.php/menuju-standardisasi-pengelolaan-zakat-global/ )