Sabtu, 19 Juli 2014

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Ditinjau dari Prespektif Kelembagaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Ditinjau dari Prespektif Kelembagaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat


Oleh :
Risanda Alirastra Budiantoro
12/330600/EK/18790


Program Studi Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
2014

BAZNAS DITINJAU DARI PERSPEKTIF TEORI KELEMBAGAAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Risanda Alirastra Budiantoro
Faculty of Economics and Business
University of Gadjah Mada
Jalan Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
Email : risanda.abe@gmail.com


Abstraksi :
Salah satu ibadah pokok umat Islam yang bercorak sosial-ekonomi adalah zakat. Sebagai kewajiban seseorang muslim yang berkecukupan (muzakki) untuk mengeluarkan sebagian hak miliknya kepada pihak yang berhak untuk menerimanya (mustahiq) agar tercipta pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Dalam hal ini, zakat dapat dimaknai sebagai alokasi sumberdaya (allocation of resource) yang dapat difungsikan untuk mencegah penumpukan harta pada sebagian kecil orang dan mempersempit kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Dengan kata lain, zakat sebagai social safety nets (kepastian terpenuhinya hak minimal kaum miskin) yang berfungsi sebagai pengendali (control) terhadap sifat manusia yang cenderung serakah dan senang terhadap akumulasi kekayaan dan kehormatan. Kondisi semacam ini menjadi pemicu bagi kemunculan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). BAZNAS adalah lembaga yang mengelola penerimaan, pengumpulan, dan penyaluran serta pemafaatan zakat, infaq dan shadaqah secara berdaya guna dan berhasil guna yang didirikan oleh umat Islam. Namun, didalam pelaksaan pengelolaan zakat, munculnya permasalahan informasi (Asymmetric information) dan penegakaan hukum (enforcement mechanism) yang menghabat produktivitas BAZNAS, sehingga menyebabkan tingginya biaya transaksi (transaction cost).

Keyword : Zakat, Muzakki, Mustahiq, allocation of resources, BAZNAS, Asymmetric information, transaction cost


Pendahuluan

Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Dari segi prakteknya zakat adalah kegiatan berbagi antar umat, dalam hal ini Zakat juga merupakan sebuah kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun sehingga hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat juga sama dengan katagori ibadah lainnya seperti salat puasa dan haji yang diatur secara terinci berdasarkan al-qur’an dan Sunnah Nabi. Tujuan Allah memerintahkan umat Islam untuk membayar zakat adalah agar harta yang dimilikinya menjadi bersih dan suci. Ketika seseorang yang telah memenuhi syarat untuk berzakat tetapi seorang tersebut tidak membayarkan zakat, maka hartanya akan menjadi kotor dan haram karena tercampur  dengan hak orang lain yang dititipkan kepada orang yang berhak mengeluarkan zakat, sebagaimana firman Allah dalam surat at- Taubah ayat 103 :

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُ هُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ اِنَّ صَلَوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (التوبة: ١٠٣)                                     

Artinya : Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Untuk memudahkan didalam penyaluran zakat maka terdapat lembaga pengelolaan zakat yaitu BAZNAS dengan landasan UU No. 38 Tahun 1999. Manajemen dan jaringan zakat menjadi semakin baik sehingga  dapat menjadi suatu gerakan tersendiri bagai pemberdayaan ekonomi umat (masyarakat). Namun demikian, potensi zakat  yang sebenarnya menurut banyak kalangan belum dapat digali secara maksimal. Hal demikian karena zakat masih dianggap sebagai  sumbangan sukarela dan negara tidak dapat memaksa para wajib zakat untuk membayarkan zakatnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam pengelolaan zakat terdapat fenomena Adverse selection dalam BAZNAS, terjadi ketidaksempurnaan informasi antara muzakki dengan amil zakat yang bertransaksi tentang kualitas input, output, maupun tentang aspek-aspek dalam pengelolaan zakat lainnya yang mana salah satu pihak menjadi kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut, dalam hal ini jika ditidak diawasi dan diminimalisir akan menghambat proses distribusi zakat.
.

Perkembangan BAZNAS Pra dan Pasca UU no 38 tahun 1999
Pada tahun 1990 BAZNAS merupakan lembaga zakat yang memiliki ciri khas untuk memberikan secara langsung dari Muzakki ke Mustahiq tanpa melalui lembaga zakat, jika pun melalui ‘amil zakat hanya terbatas pada zakat fitrah, kemudian zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat sehingga kepercayaan publik atas kinerja lembaga pengelolaan zakat masih kurang, mereka berasumsi bahwa profesi amil zakat hanya sebagai profesi sambilan, sehingga BAZNAS masih belum maksimal.  Menurut penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadits, harta yang bersifat eksplisit  berupa: emas dan perak, pertanian (terbatas pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi, kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditas yang berbentuk barang), dan rikaz (harta temuan) dapat dijadikan objek zakat, ini diakibatkan masih lemahnya sosialisasi tentang zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sangat jarang dilakukan.

UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pemerintah Republik Indonesia menjamin bahwa tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya  masing-masing. Sesuai dengan ajaran Islam zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu dan menyatakan bahwa hasil dari pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial  untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pengelolaan zakat terus disempurnakan agar pelaksanaan zakat lebih berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan

Perkembangan zakat pada tahun 2000-an setelah adanya aturan perundang-undangan pengelolaan zakat dilakukan secara lebih profesional karena adanya pedoman teknis dalam pengelolaan zakat. Tujuan atas pengelolaan zakat untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat, selain itu meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial serta meningkatkan daya guna zakat. Dalam UU itu mengatur keorganisasian pengelolaan zakat antara Badan Amil Zakat [1] dan Lembaga Amil Zakat. [2]

Pada tahun 2014 merupakan tahun yang penting dalam perkembangan BAZNAS dalam pembangunan zakat nasional, ada dua hal yang menjadi landasan untuk menciptakan lembaga zakat yang profesional :

Pertama tahun 2014 merupakan tahun pertama dalam implementasi aturan baru dalam pengelolaan zakat nasional sesuai dengan UU No. 23 tahun 2011 sebagai bentuk amandemen atas UU no 23 tahun 1999. Jika melihat dari perspektif kelembagaan memberikan kesempatan dalam pengelolaan zakat yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga mampu meminimalisir permasalahan adverse selection 

Kedua, tahun 2014 merupakan tahun politik dan terjadi transisi pemerintahan lama kepada pemerintahan baru yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian terhadap kondisi politik, sosial ekonomi suatu negara. Sehingga intervensi pemerintah dalam pembangunan zakat menjadi lebih besar dalam penyaluran zakat.  Dari sisi penghimpunan, negara dapat terlibat dalam upaya pengumpulan zakat melalui penerbitan sejumlah aturan, seperti Instruksi Presiden, yang meminta para penyelenggara negara untuk mengintensifkan upaya penghimpunan zakat secara efektif, dengan target para PNS maupun pegawai BUMN yang telah memenuhi syarat sebagai muzakki perorangan, maupun perusahaan BUMN sebagai muzakki badan. Sedangkan dari sisi penyaluran, negara dapat mendorong proses sinergi antara BAZNAS dengan kementerian terkait, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin

 Potensi Zakat Nasional
Menurut  Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidhuddin menyatakan, zakat yang terhimpun selama 2010 sebesar Rp1,5 triliun, atau meningkat dari jumlah pada 2009 sebesar Rp1,2 triliun, penerimaan manfaat zakat di seluruh Indonesia mencapai angka 2,28 juta orang atau 9,03 persen dari seluruh penduduk miskin di Indonesia.

Perolehan  zakat  secara nasional yang terus meningkat,  masih menyisakan permasalahan  bagi pengelolaan zakat.  Seagaimana pendapat Asep Saepudin Jahar,[3] lembaga-lembaga zakat berdiri cenderung independen dan mencanangkan program masing-masing yang lemah membangun koordinasi dan sinergi antar satu lembaga dengan lembaga lainnya, tidak hanya itu, penulis dan Udin pernah mengunjungi salah satu panti di Surabaya, yang melarang pantinya menerima bantuan dari yayasan yatim piatu Lembaga zakat terkesan bersaing satu sama lain, bahkan hampir tiap lembaga yang berafiliasi pada yayasan pendidikan, masjid, lembaga pelatihan, mendirikan unit pengumpulan zakat yang umumnya terpisah dari lembaga-lembaga yang ada.

Padahal  menurut  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [4] memerintahkan agar gerakan zakat terus ditingkatkan sehingga bisa membantu pemerintah mengurangi kemiskinan. Dalam artian, zakat sebagai jalur ketiga dapat memperkuat upaya mengurangi kemiskinan. Jalur pertama dan kedua adalah pembangunan ekonomi dan program bantuan pro rakyat, seperti kredit usaha rakyat, bantuan operasional sekolah, bantuan bencana alam, jaminan kesehatan masyarakat, dan sebagainya. demi terwujudnya pengelolaan zakat untuk mengurangi angka kemiskinan dibutuhkan dan sangat diperlulan  campur tangan  pemerintah;  Pertama,  zakat bukanlah bentuk kedermawanan, melaikan kewajiban bagi setiap orang muslimim. Kedua,  Banyaknya lembaga zakat yang bermunculan. Ketiga, agar dana zakat dapat di salurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Tantangan bagi BAZNAS
Dalam merealisasikan tugas sebagai koordinator pengelolaan zakat nasional, BAZNAS di hadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan internal dan stantangan eksternal.

Secara internal, yang harus mendapat prioritas BAZNAS di tahun 2014 ini adalah peningkatan kapasitas kelembagaan dan kapasitas SDM yang dimilikinya. Ini sangat penting karena akan sangat menentukan kinerja BAZNAS sebagai koordinator institusi amil resmi. Secara kelembagaan, harus ada pembedaan antara fungsi operator dengan fungsi koordinator dalam institusi BAZNAS. Fungsi operator adalah organ organisasi yang menjalankan fungsi penghimpunan dan penyaluran zakat secara terbatas Terbatas maksudnya ada pembagian tugas dan kewenangan untuk melakukan penghimpunan maupun penyaluran zakat, baik antara BAZNAS Pusat dengan BAZNAS Daerah. Sedangkan untuk fungsi koordinator, BAZNAS diminta untuk membuat sejumlah pedoman pengelolaan zakat nasional, antara lain yang terkait dengan perencanaan dan pelaporan zakat, standarisasi dan pelatihan,serta sertifikasi dan advokasi. Khusus perencanaan dan pelaporan zakat, BAZNAS perlu merumuskan standar yang dapat diaplikasikan secara bersama, baik oleh BAZNAS daerah maupun LAZ. Ini sangat penting agar informasi yang disajikan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan zakat, menjadi jelas, terukur, seragam, tidak multiinterpretasi, dan mudah untuk diverifikasi.

Sedangkan secara eksternal, BAZNAS dituntut untuk meningkatkan kinerja baik secara domestic maupun secara internasional. Secara domestik, yang diperlukan adalah bagaimana memperkuat komunikasi dengan para stakeholder yang ada. Misalnya, bagaimana meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintah. BAZNAS harus memiliki strategi komunikasi yang efektif, sehingga dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, bisa semakin dirasakan oleh perzakatan nasional. Demikian pula dengan upaya edukasi dan sosialisasi kepada publik, sehingga publik bisa memahami message kampanye zakat dengan baik, dan mereka mau terlibat aktif dalam pembangunan zakat nasional, terutama sebagai muzakki tetap. Secara internasional, BAZNAS dituntut untuk memainkan peran yang lebih signifikan, terutama dalam menggalang kerjasama dengan lembaga dan otoritas zakat dari negara lain, baik pada level regional Asia Tenggara maupun level global Juga kerjasama dengan lembaga-lembaga multilateral strategis seperti IDB (Islamic Development Bank). Apalagi IDB
sekarang juga sedang mengembangkan konsep IFSAP (Islamic Financial Sector



Assessment Program)[5] sebagai instrumen untuk menilai tingkat kesehatan sistim keuangan syariah yang ada di suatu negara. Untuk itu, peran BAZNAS, sebagai representasi negara Indonesia di kancah internasional, harus terus menerus ditingkatkan

Permasalahan Asymmetric information  dalam BAZNAS
Dalam menjalankan perannya sebagai pengelola zakat, terdapat fenomena Asymmetric information  dalam BAZNAS, terjadi ketidaksempurnaan informasi oleh satu atau lebih pihak muzakki atau amil zakat yang bertransaksi tentang kualitas input, output, maupun tentang aspek-aspek dalam pengelolaan zakat lainnya yang mana pihak lawan kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut, sehingga akan menghambat proses distribusi zakat. Selain itu ketidaktransparan dalam pendistribusian zakat dapat mengakibat kecurigaan dari berbagai pihak terutama dari para muzakki yang telah mengeluarkan zakatnya. Sehingga BAZNAS sebagai lembaga pengelolaan zakat haruslah memiliki aturan yang luas, masuk akal atau logis dapat diterima secara luas, dapat dipercaya dan bersifat predictable yang mampu direalisasikan dalam pendistribusian zakat. Stabilitas dan kredibilitas BAZNAS cukup penting yang mampu membangun tingkat kepercayaan masyarakat untuk mengatasi permasalahan adverse selection dalam BAZNAS, sehingga tujuan dari BAZNAS dapat tercapai untuk mengurangi kemiskinan, kesenjangan dan dapat memacu pertumbuhan perekonomian nasional. Dalam hal ini adaptasi dan perubahan perlu dilakukan oleh BAZNAS terhadap perkembangan preferensi sosial maupun ekonomi politik yang menjadi penyebab perubahan institusional dalam waktu dan siklus yang berbeda.

Hubungan antara transaksi (transaction), hak milik (property right), kontrak (contract) dan mekanisme penegakannya (enforcement mechanism) dalam BAZNAS
BAZNAS menjadi bagian penting dalam pembangunan bangsa Indonesia karena lembaga pengelolaan zakat tersebut berinteraksi atau bertransaksi dengan lapisan masyarakat dan dalam menjalankan perannya sesuai dengan aturan syari’i secara professional. Selain itu, BAZNAS yang termasuk dalam institusi formal, dimana dalam penyelenggaraanya diatur ketat oleh peraturan perundangan-undangan sehingga dapat berjalan dengan baik.

Namun, permasalahan informasi (Asymmetric information) dan penegakaan hukum (enforcement mechanism) menjadi penyebab tingginya biaya transaksi (transaction cost). Sebagian besar transaksi selalu membutuhkan biaya. Didalamnya termasuk biaya untuk mengumpulkan informasi-informasi tentang mustahiq (tingkat pendapatan, pendidikan, pengeluaran, dll), informasi tentang partner transaksi seperti bank mitra (reputasi, track record), kualitas property rights yang akan dipindahkan, termasuk di dalamnya kerangka legalitas dan kontrak, desain biaya, pengawasan dan penegakan aturan kontrak harus ditanggung oleh BAZNAS

Terdapat salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi islam adalah persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqh memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara. Untuk itu, perlu diadakan kajian kritis untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu sehingga kewajiban seorang Muslim terhadap agama dan negaranya dapat terlaksana secara simultan. Sebaliknya negara juga diuntungkan karena penerimaan negara dari sektor pajak sesuai dengan yang diharapkan. Pada gilirannya, pengintegrasian itu perlu diwujudkan dalam kebijakan fiskal negara. Hal ini merupakan contoh konkret dalam transaksi (transaction), hak milik (property right), kontrak (contract) dan mekanisme penegakannya (enforcement mechanism) pada lembaga pengelolaan zakat

Pengelolaan zakat yang ideal
Suatu BAZNAS harus mempunyai sistem pengelolaan yang baik. Sedangkan unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah :

  1. Memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas;
Sebagai sebuah lembaga, semua kebijakan dan ketentuan harus memiliki aturan yang jelas dan tertulis. Sehingga keberlangsungan lembaga tersebut tidak tergantung pada figur semata tetapi kepada sistem. Jika terjadi pergantian SDM, tidak akan mempengaruhi berjalannya BAZNAS tersebut.
  1. Manajemen Terbuka;
Fungsi pengawasan BAZNAS dapat tercapai dengan manajemen terbuka, sehingga akan terjadi hubungan timbal balik antara amil  zakat dengan masyarakat
  1. Mempunyai Rencana Kerja yang Jelas;
Dengan mempunyai rencana kerja yang jelas maka aktivitas BAZNAS akan lebih terarah.
  1. Memiliki Komite Penyaluran;
Tugas Komite Penyaluran ini adalah untuk mengadakan penyeleksian terhadap setiap pengeluaran dana yang akan dilakukan. Apakah dana tersebut benar-benar disalurkan kepada yang berhak, sesuai dengan ketentuan syari`ah, prioritas dan kebijakan lembaga.
  1. Memiliki Sistem Akutansi dan Manajemen Keuangan;
Dengan memiliki sistem akutansi dan manajemen keuangan yang baik, maka BAZNAS dapat berjalan secara efektif dan efesien.
  1. Diaudit;
Salah satu prinsip dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah prinsip transparansi. Sehingga setiap BAZNAS harus diaudit baik oleh auditor eksternal maupun internal. Dengan demikian transparansi Pengelolaan BAZNAS tersebut dapat tetap terjaga.
  1. Publikasi;
Publikasi sangat diperlukan oleh BAZNAS, sekaligus sebagai upaya untuk mensosialisasikan berlakunya Undang-Undang Pengelolaan Zakat kepada masyarakat umum. Publikasi ini dapat dilakukan melaui berbagai media massa seperti tevisi, surat kabar, bulletin, radio dan lain-lain.
  1. Perbaikan Secara Terus Menerus.
Suatu BAZNAS tidak boleh puas dengan keadaan yang dicapai saat ini, tetapi harus selalu diadakan peningkatan dan perbaikan secara terus menerus sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan zaman.

BAZNAS sebagai New Institutional Economics (NIE)
Dalam hal ini NIE mencoba menjelaskan permasalahan ekonomi dalam dunia nyata seperti ketidaksempurnaan informasi dan adanya biaya transaksi didalam institusi. Semakin informasi tidak sempurna (adanya asymmetric information) maka semakin tinggi biaya transaksi yang dikeluarkan pelaku ekonomi. NIE mencoba menjelaskan pentingnya kelembagaan untuk menciptakan efisiensi dan meminimalisir biaya transaksi. Jika dilihat dari paradigma metodologi penelitian NIE merupakan gabungan antara Neo Classical Economics (NCE) dan Old Institutional Economics (OIE) sehingga bersifat positivisme (dicirikan dengan sampel besar, deduktif, kuantitatif, modeling, dan bertujuan untuk menguji hipotesa) dan fenomenologis (sampel kecil, studi kasus, induktif, observasi langsung, kualitatif dan bertujuan ingin memodifikasi teori daripada menguji teori), yang dicirikan dengan penggabungan metodologi kuantitatif dan kualitatif, dan menggunakan trianggulasi konsep, metodologi dan data. NIE memiliki nilai yang lebih demokratis, adil dan transparan selain itu adanya penggabungan antara faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sehingga sesuai dengan konsep pengelolaan zakat oleh BAZNAS.
           
Kesimpulan
Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Untuk memudahkan didalam penyaluran zakat maka terdapat lembaga pengelolaan zakat yaitu BAZNAS dengan landasan UU No. 38 Tahun 1999, sesuai dengan undang-undang hasil dari pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pengelolaan zakat terus disempurnakan agar pelaksanaan zakat lebih berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan

Dalam merealisasikan tugas sebagai koordinator pengelolaan zakat nasional, BAZNAS di hadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal. Selain itu fenomena Adverse selection terdapat dalam BAZNAS, hal tersebut terjadi ketidaksempurnaan informasi oleh satu atau lebih pihak muzakki atau amil zakat yang bertransaksi tentang kualitas input, output, maupun tentang aspek-aspek dalam pengelolaan zakat lainnya yang mana pihak lawan kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut, sehingga akan menghambat proses distribusi zakat. Permasalahan informasi (Asymmetric information) dan penegakaan hukum (enforcement mechanism) menjadi penyebab tingginya biaya transaksi (transaction cost).

Dalam hal ini NIE mencoba menjelaskan permasalahan ekonomi dalam dunia nyata seperti ketidaksempurnaan informasi dan adanya biaya transaksi didalam institusi, termasuk BAZNAS. Jika dilihat dari paradigma metodologi penelitian NIE merupakan gabungan antara Neo Classical Economics (NCE) dan Old Institutional Economics (OIE) NIE memiliki nilai yang lebih demokratis, adil dan transparan selain itu adanya penggabungan antara faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sehingga sesuai dengan konsep pengelolaan zakat oleh BAZNAS

























Daftar Pustaka
Baidlowi, A.Miftah, 2003, Potensi Baznas untuk meningkatkan kesejahteraan di Kabupaten Sleman, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga. Vol.IV , No.1 Juni 2003: 1-13
Beik, Irfan Syauqi. Menuju Standardisasi Pengelolaan Zakat Global (http://irfansbeik.blog.republika.co.id/index.php/menuju-standardisasi-pengelolaan -zakat-global/, accessed on 14 Juni 2014)
Departemen Agama RI. 1965. AlQur'an al Karim dan Terjamahnya, Semarang:  CV.TohaPutra
Jaya, Wihana Kirana. 2010Kebijakan Desntralisasi di Indonesia Dalam Perspektif Teori Ekonomi kelembagaan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Yudoyono, Susilo Bambang., Zakat Jalur Ketiga Kurangi Kemiskinan. dalam http://www.republika.co.id.,  18 Maret 2011




[1] Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Organisasi BAZ di semua tingkatan bersifat koordinatif, konsultatif, dan infomatif. Kepengurusan BAZ terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi
 [2] LAZ merupakan lembaga yang didirikan oleh masyarakat dalam pengelolaan zakat dengan kriteria sebagai organisasi islam dan atau lembaga dakwah yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat yang dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah. Pengukuhan LAZ sesuai dengan keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003.
[3] Asep Saepudin Jahar,  Masa Depan Filantropi Islam Indonesia Kajian Lembaga-lembaga Zakat dan Wakaf, Makalah disampaikan dalam acara Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10 di Banjarmasin, 1 – 4 November 2010, Kalimantan Selatan, 685
[4] Presiden Susilo Bambang Yudoyono, : Zakat Jalur Ketiga Kurangi Kemiskinan‛, dalam http://www.republika.co.id.  (18 Maret 2011)
[5] IFSAP (Islamic Financial Sector Assessment Program) merupakan tools untuk mengukur dan menilai kinerja sektor keuangan syariah secara komprehensif, sekaligus melakukan evaluasi terhadap stabilitas sektor ini. Dengan assessment yang tepat, maka kemungkinan terjadinya krisis keuangan dapat dideteksi secara dini. Dimasukkannya zakat dan wakaf kedalam IFSAP sesuai pertimbangan bahwa kedua sektor ini merupakan pilar utama Islamic social finance yang memiliki potensi yang sangat besar. Apalagi secara filosofis, zakat merupakan instrumen yang disebut secara eksplisit dalam Alquran sebagai antitesa dari sistim riba. (source : Dr Irfan Syauqi Beik, Menuju Standardisasi Pengelolaan Zakat Global, http://irfansbeik.blog.republika.co.id /index.php/menuju-standardisasi-pengelolaan-zakat-global/ )

Selasa, 11 Maret 2014

Transactions Demand for Cash : An Inventory Theoritic Approach

“Transactions Demand for Cash : An Inventory Theoritic Approach”
William J. Baumol – New York University
(Risanda Alirastra Budiantoro – 12/330600/EK/18790 – Ilmu Ekonomi)

Sesuai dengan mikro ekonomi akan teori permintaan uang tunai yang dirumuskan W.J Boumol dalam Jurnal yang berjudul ”The Transactions Demand for Cash : An Inventory Theoretic Approch”,  bahwa Model Baumol itu didasarkan pada aset yang mirip dengan uang (dalam hal mereka properties) mendapatkan bunga sebagai pendapatan mereka, dan dibebani dengan relatif risiko kecil. Aset tersebut memberikan entitas ekonomi pilihan menjaga pendapatan mereka dalam bentuk tunai atau sebagai aktiva penghasil bunga. Menjaga saldo kas melibatkan - seperti halnya pilihan lain yang dibuat oleh pelaku pasar - menanggung biaya ekonomi tertentu. Dengan  pendekatan persediaan maka permintaan uang tunai akan bertumpu meminimalkan biaya ekonomi atau sebaliknya, untuk memaksimalkan jumlah utilitas yang berasal dari kebijakan tertentu  dikeluarkan oleh perusahaan yang berpastisipasi dipasar.
Untuk menyederhanakan analisis, selain dari ketentuan di atas, Baumol membuat satu  asumsi yang lebih implicite tentang keseragaman suku bunga dalam skala ekonomi secara keseluruhan. Ini berarti khususnya tingkat pasar bunga yang sama baik untuk deposito (terlepas dari karakter mereka) serta pinjaman. Ini harus ditambahkan bahwa Baumol memahami tabungan - juga implicite - sebagai bentuk menjaga aset dari waktu ke waktu, kecuali untuk menjaga uang tunai, yaitu aset dengan tingkat bunga nol. Sebuah penyederhanaan tambahan model adalah fakta bahwa itu berhubungan hanya untuk ekonomi statis. Model ini benar-benar mengabaikan masalah uang berubah nilainya dalam waktu (yang penulis memilih untuk tidak menyebutkan), konsekuensi dari dampak dari faktor moneter diwakili oleh perubahan harga dalam perekonomian.
Baumol mengungkapkan kasus-kasus dengan penggunaan model dengan cara berikut:
Entitas membutuhkan jumlah T uang tertentu untuk menyediakan untuk belanja konsumen dalam suatu unit waktu tertentu. Entitas membiayai pengeluaran yang baik melalui penarikan keseluruhan (atau bagian) dari deposito, atau melalui utang, dengan asumsi bahwa pada awalnya ia tidak harus berkontribusi saldo kas sebesar T, tetapi dapat menarik uang tunai dengan angsuran C sama (sama baik dalam waktu unit, dan dari segi jumlah mereka).
Dengan melibatkan saldo kas, maka ada 2 kategori biaya umum, yaitu :
-         Biaya kehilangan kesempatan (atau biaya yang dikeluarkan untuk membayar kembali utang kredit) bunga dihitung dengan tingkat bunga i pasar, dan
-         Transaksi luas dipahami biaya konversi bunga produktif aset menjadi uang tunai b (atau biaya kredit), yang meliputi tidak hanya biaya waktu alternatif ditujukan untuk operasional, tapi juga komisi yang dibebankan oleh lembaga keuangan pada operasi tersebut, yang Baumol menganggap sebagai biaya tetap

Dengan rumusan demikian masalah, dan dengan mengingat sebelumnya asumsi-asumsi, suatu entitas harus mengatur  T/C saldo kas dalam batas waktu tertentu (dalam dari segi jumlah mereka). Hal ini melibatkan biaya total transaksi yang sama b (T/C) karena biaya konsumen merata dalam waktu, saldo kas rata-rata dimiliki oleh entitas tertentu sama C/2 yang menurut Baumol, memungkinkan untuk melakukan perhitungan biaya pelayanan keseimbangan dalam seluruh waktu tersebut sebagai i (C/2).  Oleh karena itu,  jelas bahwa total biaya saldo kas untuk suatu entitas adalah jumlah biaya pengaturannya dan memelihara, dengan demikian akan menghasilkan : b (T/C) + i (C/2)
Masalah utama dalam model Baumol adalah mencari saldo kas optimal yang sudah ditentukan yang harus ditetapkan oleh entitas untuk membiayai konsumen kebutuhan. Rumus menentukan volumenya dicapai dengan menghitung turunan fungsi biaya total ekonomi dinyatakan dengan rumus (1) menghitung C. Oleh karena itu, diperoleh turunan    -b (T/C^2) + (i/2)
setelah transformasi menghasilkan rumus berikut memungkinkan untuk menghitung dicari untuk volume C  
Persamaan di atas memberikan bukti:
1.      Transaction demand for cash juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga,
2.      Seorang individu rasional akan memiliki fungsi permintaan akan uang cash yang tergantung dari proporsi akar kuadrat dari nilai transaksi. Contoh : Misal kenaikan gaji  satuan uang, maka kenaikan permintaan uang cash : akar 9=3
3.      Rumus di atas juga disebut dengan rumus EOQ Economic Order Quantity, yang menjadi dasar dari manajemen persediaan.








Money in the Economy : General Equilibirum Analysis

Money in the Economy : General Equilibirum Analysis
(Risanda Alirastra Budiantoro – 12/330600/EK 18790 – Ilmu Ekonomi)

Bab ini telah memberikan dasar bagi analisis ekonomi mikro akan  permintaan dan penawaran uang serta dalam tinjauan analisis ekonomi makro dari peran uang dalam perekonomian bangsa.
Analisis bab ini adalah dengan konsep MIUF dan MIPF model. Dengan menggunakan analisis tersebut memperlakukan uang adalah barang seperti barang-barang lainnya dalam fungsi utilitas dan sebagai input seperti input lain dalam fungsi produksi. l Dalam hal ini menempatkan real balance dalam fungsi utilitas karena, untuk setiap individu tertentu dalam ekonomi moneter, kurang menyukai konsep real balance yang dianggap tidak relevan. Dasar preferensi ini tidak dianggap relevan dengan masalah yang menempatkan uang dalam fungsi utilitas, jika dianalogikan seperti layaknya rokok dan produk yang mungkin berbahaya lainnya, jika barang tersebut dibeli tidak dianggap relevan dalam memutuskan apakah akan memasukkan mereka dalam fungsi utilitas. Selanjutnya, persamaan ini menetukan apakah saldo uang secara langsung menghasilkan utilitas atau tidak, juga tidak dianggap relevan , seperti jika asumsinya kita merokok akan menimbulkan bahaya baik bagi perokok aktif maupun pasif (yang tidak merekok). Kembali ke bahasan utama maka aspek dalam pendekatan ini yang memiliki sedikit relevansi dengan utilitas mereka dan analisis permintaan. Pertimbangan serupa berlaku untuk menempatkan keseimbangan riil dalam fungsi produksi . Dalam hal apapun, bab ini juga disajikan pendekatan tidak langsung untuk menempatkan keseimbangan nyata dalam utilitas dan produksi fungsi. Sebuah pendekatan yang lebih khas yang akan membuat mereka keluar dari kedua utilitas langsung dan tidak langsung dan fungsi produksi yang ditawarkan oleh tumpang tindih generasi model.
Permintaan individu dan fungsi penawaran untuk nilai riil dari semua barang homogeneus merepresntasikan memiliki derajat nol dalam harga nominal dan nilai nominal endowment awal. Artinya, perubahan semua harga dengan nilai saldo riil kekayaan tetap konstan sehingga tidak mengubah fungsi permintaan dan penawaran bagi setiap individu. Tapi perubahan harga mutlak yang mengubah kekayaan riil individu karena bagian itu diadakan di uang dan aset keuangan lainnya, membawa efek kekayaan dalam jumlah yang diminta dari barang oleh individu dan ekonomi, dan mengubah harga relatif barang, termasuk komoditas.
Perubahan pada harga relatif pada komoditi individu akan mengubah permintaan terhadap real balance dan juga tingkat harga absolut, baik melalu efek substitusi dan efek pendapatan. Untuk individu, penentu utama permintaan terhadap real balance, seperti komoditas secara kolektif, adalah variabel skala, hal ini dianggap sebagai perubahan terhadap tingkat pendapatan atau kekayaan masyarakat.