Rabu, 15 Mei 2013

KnKEI Kuliah non Kurikuler Ekonomi Islam 2013

Kuliah non Kurikuler Ekonomi Islam 2013

Waktu Pelaksanaan
Setiap Sabtu, 7 September – 19 Oktober 2013
08.00 – 12.30
(Materikulasi + 6 x Pertemuan @2Sesi)

Pilihan Kelas
Kelas Dasar: Ilmu Ekonomi Islam
Kelas Lanjutan: Akuntansi Syariah & Lembaga Keuangan Islam non Bank

Fasilitas
· Dosen & Praktisi Berkompeten
· Sertifikasi IAEI
· Snack
· Blocknote
· Ruangan ber-AC

Investasi
Pelajar/Mahasiswa D3 & S1: Rp150.000
Rp100.000*

Mahasiswa S2 & S3 / Umum: Rp200.000
Rp150.000*

*Untuk 50 Pendaftar Pertama

Pendaftaran
Setiap Jumat, 17 Mei – 24 Juni 2013
Pukul 09.00 – 16.00
Selasar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
Jl Sosio Humaniora 1, Yogyakarta
Pendaftaran via traansfer hubungi CP

Contact Person
Adit (085691758464)
Tiara (085725937880)
laskarknkei@gmail.com

More Info:

@KnKEI_SEFUGM
Shariaheconomics.org/knkei
Laskarknkei.blogspot.com




KETIMPANGAN DEMOKRASI PADA PERS DI ERA ORDE BARU DAN REFORMASI

TEMA : DEMOKRASI

KETIMPANGAN DEMOKRASI PADA PERS DI ERA ORDE BARU DAN REFORMASI

Oleh :
Risanda Alirastra Budiantoro
12 / 330600 / EK / 18790
Ilmu Ekonomi / FEB UGM / 2012



Fakultas  Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2013



Surat Pernyataan

Dengan ini, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama                        :  Risanda Alirastra Budiantoro
NIM                         :  12/330600/EK/18790
Prodi                         :  Ilmu Ekonomi
Fakultas                    :  Ekonomika dan Bisnis
Tahun Ajaran             :  2012/2013
Judul Makalah           :  Ketimpangan Demokrasi pada Pers di Era Orde Baru dan                              Reformasi
Mata Kuliah              :  Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu       :  Dra. Sartini, M.Hum.

Menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa mencantumkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya telah menggunakannya.



                                                                                           Yogyakarta, 03 Mei 2013
                                                                                                                  Hormat saya,



   Risanda Alirastra B

Bab I
Pendahuluan

1.1     Latar Belakang

            Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila. Sebelumnya, mari kita tengok arti dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan, dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.[1] Sedangkan demokrasi Pancasila memiliki arti bahwa demokrasi di Indonesia merupakan demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi.[2] Adapun ciri-ciri demokrasi Pancasila yang sedang diterapkan di Indonesia, seperti pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi, adanya pemilu secara berkesinambungan, adanya peran-peran kelompok kepentingan, adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas. Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah. Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Dari pengertian-pengertian dan penjelasan mengenai demokrasi yang telah tercantum diatas, dapat dikaitkan antara demokrasi Pancasila yang sedang dianut di Indonesia dengan kebebasan pers di Indonesia pada era orde baru dan reformasi. Seperti yang telah diketahui bahwa pers di Indonesia pada rezim Soeharto (era orde baru) tidak memiliki kebebasan atau mengalami kekangan dari pihak pusat atau pemerintah. Sehingga, seluruh pers yang ada pada rezim Soeharto tidak dapat menulis dan mempublikasikan berita yang berisi tentang hal-hal negatif yang sedang terjadi pada pejabat-pejabat yang ada di pemerintahan saat itu.
Perjuangan setiap bangsa untuk lepas dari penindasan tidak dapat dilepaskan dari peran media. Termasuk di Indonesia, peran media dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tak perlu diragukan. Sebut saja surat kabar Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, dan Medan Prijaji yang turut andil dalam menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia. Setelah kemerdekaan berhasil direbut, semangat kebebasan pers mulai dapat dirasakan. Rosihan Anwar pernah menegaskan bahwa kebebasan pers hanya dapat dirasakan pasca kemerdekaan sampai tahun 1950 saja.
Sesudah itu, bahkan hingga kini semangat kebebasan pers seperti timbul tenggelam. Meski begitu, kita ingat betul ketika Mochtar Lubis sempat dibungkam oleh rezim Soekarno.Ia dianggap terlalu kritis dan membahayakan posisi penguasa, sehingga kemudian dipenjarakan. Rezim berikutnya tidak jauh berbeda. Di masa Orde Baru, Media dibungkam oleh kekuasaan otoriter Soeharto. Sehingga beberapa media oposisi dibredel dan dilarang terbit. Koran-koran seperti Kompas, Harian Indonesia Raya, dan Majalah Tempo sempat dilarang terbit pada masa itu. [3]
Akan tetapi keadaan demokrasi terhadap pers diera reformasi mulai menemukan titik terang. Intimidasi yang dilakukan oleh rezim Soeharto tidak lagi dapat menciutkan nyali dari para wartawan dan jurnalis. Perubahan yang sangat signifikan pun terlihat, di dukung dengan perkembangan media alternatif dan internet, hak serta kebebasan wartawan untuk menulis berita tidak lagi dibatasi.

1.2            Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.2.1    Bagaimana penerapan demokrasi pada era orde baru?
1.2.2    Bagaimana penerapan demokrasi pada era reformasi?
1.2.3    Bagaimana demokrasi yang terjadi pada pers di era orde baru?
1.2.4    Bagaimana demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi?
1.2.5    Apa perbedaan demokrasi yang terjadi pada pers di era orde baru dengan demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi ?


1.3            Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.3.1    Mengetahui penerapan demokrasi pada era orde baru.
1.3.2    Mengetahui penerapan demokrasi pada era reformasi.
1.3.3    Mengetahui demokrasi yang terjadi pada pers di era orde baru.
1.3.4    Mengetahui demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi.
1.3.5    Mengetahui perbedaan demokrasi yang terjadi pada pers di era orde baru dengan demokrasi yang terjadi pada pers di era reformasi.

1.4     Metode Penulisan

Adapun metode yang dipergunakan dalam penulisn makalah ini yaitu metode diskusian metode kepustakaan, dimana kemudian disimpulkan dalam bentuk makalah.

Bab II
Pembahasan

2.1     Penerapan Demokrasi pada Era Orde Baru

Pengertian dan pelaksanaan demokrasi di setiap negara berbeda, hal ini ditentukan oleh sejarah, budaya dan pandangan hidup, dan dasar negara serta tujuan negara tersebut. Sesuai dengan pandangan hidup dan dasar negara, pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengacu pada landasan idiil dan landasan konstitusional UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia sendiri dibagi menjadi beberapa periode, dimulai dari masa orde lama yang dimulai tahun 1945-1966. Periode ini dipimpin oleh kepemimpinan Ir. Soekarno. Setelah masa ini berakhir, terjadi pergantian periode menjadi masa orde baru.
Masa orde baru dimulai ketika pemberontakan G 30 S PKI berhasil ditumpas oleh Jenderal Soeharto. Beliau pun terpilih menjadi presiden selanjutnya. Pada masa ini, pelaksanaan demokrasi di Indonesia berlandasan pada pancasila dan UUD 1945. Dan pada masa ini juga, berkembang tentang butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan harus berdasarkan pada pancasila.
            Akan tetapi, seiring berjalannya waktu pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan ini dianggap gagal. Beberapa kegagalan yang terjadi seperti pengakuan HAM yang terbatas serta pertumbuhan KKN yang merajalela. Masa orde baru pun akhirnya runtuh pada tahun 1998 setelah menjalani masa pemerintahan selama 31 tahun. Kehancuran masa orde baru disebabkan oleh beberapa hal seperti, terjadinya krisis politik serta hancurnya ekonomi nasional atau krisis ekonomi.

 2.2    Penerapan Demokrasi pada Era Reformasi

Demokrasi pancasila pada era reformasi adalah salah satu reaksi terhadap pemerintahan orde baru yang dianggap telah menyimpang dari tujuan dan cita-cita demokrasi pancasila. Era reformasi berlangsung dari 1998 sampai dengan saat ini atau sering disebut orde transisi demokrasi pancasila. Sebagai warga negara kita pasti berharap bangsa Indonesia bisa belajar dari pengalaman sejarah agar pelaksanaan demokrasi pancasila di era reformasi ini lebih baik dari era sebelumnya.
Ada beberapa hal yang akan menjamin sukses atau tidaknya demokrasi pancasila di era reformasi ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Komposisi elite politik yang ada dimana tidak ada sistem monopartai dan tidak adanya diktator komunitas. Semuanya memiliki porsi yang sama untuk mewakili rakyat semata.
2.    Desain institusi politik di mana institusi politik disusun sedemikian rupa sehingga wakil-wakil rakyat yang dipilih benar-benar mewakili rakyat Indonesia.
3.    Budaya politik yang selalu mendahulukan kepentingan masyarakat bukan partai. Dengan begitu, maka demokrasi pancasila benar-benar mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
4.    Peranan masyarakat yang aktif dalam memberikan aspirasi dalam pemilihan wakil-wakil rakyat
Adapun ciri-ciri khusus yang membedakan demokrasi pancasila di era orde baru dan era reformasi ini adalah kandungan yang terdapat dalam demokrasi pancasila di era reformasi itu sendiri. Dilihat dari aspek formal, demokrasi pada era reformasi menunjukkan segi proses dan cara rakyat berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, yang kesemuanya sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan-peraturan pelaksanaan yang lainnya. Sedangkan dari aspek materil, demokrasi pada era reformasi menunjukkan adanya gambaran manusia yang menegaskan pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan dan memanusiakan warga negara dalam masyarakat negara kesatuan republik Indonesia dan masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

2.3            Penerapan Demokrasi yang Terjadi pada Pers pada Era Orde Baru

Di masa orde baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media.  Peran media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. . Namun, pemerintah menjanjikan keterbukaan pada dunia pers, akan tetapi ini hanya merupakan janji kosong. Sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan Soeharto
Demokrasi pada pers yang terjadi pada orde ini bisa dikatakan sebagai masa yang kelam bagi dunia pers di Indonesia. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen[4]
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar. Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya. Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas, sedangkan tulisan kedua dianggap bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab. Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial.[5]

2.4            Penerapan Demokrasi yang Terjadi pada Pers pada Era Reformasi

Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru, Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung melalui media alternatif dan internet. khalayak kembali menggeliat aktif. Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari pemerintah. Begitu juga media, dapat berperan secara aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai penyalur / penengah bagi khalayak dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru.
Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era reformasi, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter pada era ini sulit diprediksi, mengingat Negara Indonesia merupakan negara besar, mengakui HAM warganya, dan memiliki kemajemukan budaya, adat istiadat, agama dan bahasa daerah. Tantangan inilah yang harus di hadapi pers, peran pers sebagai media penyalur aspirasi atau suara kepada pemerintahan tetapi tetap menghargai hak dan etika dari pers tersebut.
Akan tetapi, era kebebasan pers juga memunculkan ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Kebebasan pers Indonesia kemudian banyak dikecam karena telah kelewat batas. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga non pemerintah yang menerbitkan jurnal pengawas media (media watch).
Pada saat yang sama, pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999. Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers.




2.5              Perbedaan Demokrasi yang Terjadi pada Pers di Era Orde Baru dengan Demokrasi yang Terjadi pada Pers di Era Reformasi
         
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh artikel-artikel diatas, ada beberapa perbedaan yang dapat ditemukan antara kebebasan pers pada era orde baru dengan kebebasan pers pada era reformasi. Perbedaan tersebut tentu saja sangat berbanding terbalik. Pada masa orde baru, pers tidak bisa bergerak bebas, sedangkan pada era reformasi, pers dapat mengeluarkan aspirasi-aspirasinya secara bebas tanpa ada kekangan dari pihak pemerintah. Dan dengan adanya UU No.40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers yang disahkan pada era reformasi, hal ini menandakan bahwa pers lebih diperhatikan dibandingkan pada saat era orde baru. 
Dengan kebebasan pers di Indonesia pada masa reformasi, hal ini membuktikan  jika demokrasi semakin mudah untuk dilakukan. Tidak seperti pada masa orde baru yang kurang menghargai aspirasi masyarakat. Otoritarianisme pada zaman orde baru pun terhapuskan di zaman  reformasi. Pada era ini, terdapat peningkatan jumlah penerbitan pers. Berdasarkan data Direktorat Pembinaan Pers (23 September 1999), jumlah penerbitan media cetak di Indonesia yang meliputi suratkabar, tabloid, majalah, dan bulletin mencapai 1.687. Jika dibandingkan dengan tahun 1997 jumlah penerbitan yang hanya 289 media, berarti hanya sekitar seperlima dari jumlah penerbitan yang ada pada tahun 1999. Bagi publik, kondisi ini memunculkan harapan baru untuk memperoleh keragaman informasi yang bersumber dari adanya keragaman isi maupun keragaman kepemilikan media.

Bab III
Penutup
3.1            Kesimpulan

          Dari pembahasan diatas, dapat saya simpulkan bahwa penerapan demokrasi pada era orde baru belum dapat dikatakan berhasil. Walaupun pada masa-masa awal era orde baru kepemimpinan Soeharto dianggap menjadi pelopor perubahan bangsa karena beliau dapat menumpas G30SPKI. Akan tetapi, pada akhirnya pemerintahan beliau hancur karena tindakan-tindakan beliau yang banyak merugikan masyarakat. Sedangkan penerapan demokrasi pada era reformasi dapat dikatakan sebagai titik balik bagi berlangsungnya demokrasi pancasila di Indonesia. Adanya perbaikan-perbaikan pada sisi demokrasi ini mengakibatkan adanya gebrakan-gebarakan baru dari masyarakat yang pernah merasa terkekang pada masa orde baru.
            Gebrakan-gebrakan baru tersebut dapat dicontohkan pada bebasnya pers di Indonesia. Pada masa orde baru, keadaan pers di Indonesia sangat terpuruk karena mendapatkan kekangan dari pihak pemerintah. Sehingga pers tidak dapat menerbitkan berita-berita aktual mengenai pemerintahan pada saat itu. Karena jika pers menerbitkan berita yang berisi tentang keburukan-keburukan yang terjadi pada pejabat-pejabat pemerintahan, pers yang menerbitkan berita tersebut akan diberi surat peringatan dari pemerintah.Tentu saja hal ini sangat merugikan bagi pihak pers. Sedangkan keadaan pers pada masa reformasi sangat berbanding terbalik dengan keadaannya pada masa orde baru. Pada masa reformasi, pers dapat merasakan kebebasannya. Hal ini terbukti dengan adanya undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1999 tentang kebebasan pers. Dan tokoh dibalik kebebasan pers ini adalah B.J Habibie.
Jika dibandingkan antara keadaan pers pada masa orde baru dengan keadaan pers pada masa reformasi, tentu saja kebebasan pers pada masa reformasi lebih terjamin. Bukan hanya kebebasannya, tetapi juga para jurnalis di Indonesia terlindungi haknya oleh hukum yang berlaku. Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Ini merupakan hal pertama dan utama yang perlu dijaga, jangan sampai muncul tirani media terhadap publik.

3.2     Saran

Jangan sampai undang-undang yang telah dibuat pada tahun 1999 dirusak begitu saja oleh oknum-oknum yang hanya mementingkan kepentingan pribadi hingga melakukan kekerasan dan melupakan adanya undang-undang yang melindungi pers. Serta, jangan sampai pemerintah mengulang kesalahan yang terjadi pada era orde baru, karena itu akan merusak sistem demokrasi yang sedang dalam proses penyempurnaan pada bangsa ini.

3.3 Daftar Pustaka

1.      Avie, Johan, Kebebasan Pers Indonesia : Jauh Panggang dari Api, diakses dari  http://hukum.kompasiana.com/2012/04/12/kebebasan-pers-indonesia-jauh-panggang-dari-api-449290.html, pada tanggal 7 Mei 2013 pukul 20.10
2.      Anwar, Mohammad, Runtuhnya Rezim Soeharto : Kebangkitan Pers Indonesia, Topik, 14 Februari 1984
3.      Demokrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, 8 Mei 2013
4.      Demokrasi Pancasila, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila, 8 Mei 2013
  1. I.N, Soebagijo, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181



[2] Demokrasi Pancasila, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi_Pancasila, 8 Mei 2013
[3] Johan Avie, Kebebasan Pers Indonesia; Jauh Panggang dari Api, diakses di  http://hukum.kompasiana.com/2012/04/12/kebebasan-pers-indonesia-jauh-panggang-dari-api-449290.html, pada tanggal 7 Mei 2013 pukul 20.10

[4] dalam Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181
[5] Mohammad Anwar, Topik, 14 Februari 1984

Senin, 06 Mei 2013

SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA ( Dari Persepsi Pancasila )

SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA
  (Risanda Alirastra Budiantoro - 12/330600/EK/18790 – Ilmu Ekonomi)


I.      Konsep Nasionalisme

Nasionalisme adalah suatu paham dan sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Nasionalisme dapat diperkuat oleh ikatan persamaan ras, bahasa, sejarah dan agama, oleh karenanya nasionalisme selalu terpaut dengan wilayah tertentu. [1]
Rasa nasiolanisme harus diterapkan sedini mungkin kepada generasi muda penerus bangsa. semangat nasionalisme generasi muda sangat penting keberadaannya. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap tanah air tercinta dengan tetap menghargai dan menghormati bangsa-bangsa lain di dunia ini juga harus ditumbuhkan. sesama bangsa harus saling membantu dan bertenggang rasa. Karena dengan hal-hal tersebut bersama kita bisa memelihara perdamaian di dunia ini. Jika perdamaian di dunia dapat dipelihara maka ketentraman rakyat akan terjamin. Karena nasionalisme membentuk kesadaran dan kesetiaan terhadap bangsa dan negara tanpa memandang dari suku, ras, agama dan kelompok kita berasal. Dengan semangat nasionalisme tersebut, rasa rukun antar masyarakat juga akan tumbuh. Sehingga tidak akan ada pertempuran dan peperangan antar masyarakat dalam sebuah negara.

II. Nasionalisme Indonesia dengan Landasan Pancasila

Sebagai dasar dan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, asas nasionalisme  tercantum dalam Pancasila sebagai sila ketiga, yaitu Persatuan. Sebagai dasar ideologi Negara Pancasila sepatutnya menjadi acuan kerangka kita dalam membangun kehidupan berbangsa. Sebab selain dipandang sebagai dasar ideologi Negara, Pancasila telah ditetapkan sebagai sumber hukum oleh MPR dan juga senantiasa dipandang sebagai paradigma budaya dalam melaksanakan semboyan Negara "Bhinneka Tunggal Ika". Nasionalisme Indonesia yang bersumber pada Pancasila akan menjadi sebuah landasan yang benar dan kuat. Bung Karno menyatakan bahwa negara yang kita dirikan harus dilandasi Nasionalisme. Akan tetapi nasionalisme yang kita bangun harus nasionalisme yang tumbuh dalam tamansari internasionalisme, bukan nasionalisme yang sempit dan chauvinis. Melainkan nasionalisme yang ber-Perikemanusiaan yang adil dan beradab.[2]
Menurut Notonagoro, seorang ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas Gajah Mada, mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat "majemuk tunggal" (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:

 1.      Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan
         Sejarahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
 2.   Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memilikiPersamaan nasib,
yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang. 
 3.  Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki Keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda,
namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam.
 4.    Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
 5.     Kesatuan Asas Kerohanian.
Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.[3]

Indonesia kaya dengan Teori dan Konsep yang brilyan, antara lain Pancasila Tapi amat lemah dalam Implementasi yang konsisten dan efektif dari berbagai teori dan konsep yang brilyan itu. Para pemimpin hebat sekali berwacana, tapi sayangnya kebanyakan tinggal pada wacana belaka dan tidak ada kenyataannya.
Jadi untuk membuat Nasionalisme Indonesia tangguh dan kokoh kembali syarat pertama adalah perbaikan dan peningkatan mutu Kepemimpinan di semua tingkat dan aspek kehidupan bangsa, disertai pelaksanaan Manajemen yang efektif . Kepemimpinan yang menyadari perlunya Pancasila menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia serta dengan penuh kesungguhan melaksanakan berbagai usaha untuk itu. Dengan begitu potensi nasional yang besar dan bernilai tinggi pada Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) dan potensi lainnya akan memberikan manfaat efektif dan nyata untuk kehidupan rakyat banyak. Rakyat akan Sejahtera dan Negara Kuat. Nasionalisme Indonesia akan tangguh melebihi sediakala.

“Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno, 1964).


[1] Dwi Wijayanto Rio Sambodo, Nasionalisme Indonesia diakses dari : http://dwirio.blogspot.com/2008/10/nasionalisme-indonesia.html, pada tanggal 3 Mei 2013 pukul 12.30
[2] Sayidiman Suryohadiprojo, Nasionalisme Indonesia yang Tangguh diakses dari : http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1596, pada taanggal 3 mei 2013 pukul 12.35
[3]  Ahmad Yanuana Samantho, Kebudayaan dan Nasionalisme Indonesia, diakses dari  http://ahmadsamantho.wordpress.com/2010/03/31/kebudayaan-dan-nasionalisme-indonesia/, pada tanggal 3 Mei 2013 puku 13.00